Ads 468x60px

Pages

Subscribe:

feature content slider

Template Information



Assalamu'alaikum wr wb
Selamat datang di MIQRA INDONESIA GROUP. Sumber Inspirasi, Motivasi, Ilmu dan Amal untuk ke-SUKSES-an hidup Anda di dunia akhirat.
Ayo Gabung Dengan Komunitas Pembaca MIQRA INDONESIA GROUP
Dapatkan Hadiah Ebook:
”ILMU MENJADI KAYA”

Setelah Anda bergabung dengan Mailing List MIQRA INDONESIA GROUP.


| ILMU MENJADI KAYA |

Contact online

Your Ad Here

Test Footer

Free Blogger Templates


BLOG IS MY SALESMAN ARDA DINATA:
| ARDA EKLIPING INDONESIA | Cara Menjadi Kaya | Dunia Kesehatan Spritual | Dunia Pustaka dan Referensi | Dunia Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang | Dunia Kesehatan Lingkungan | ALIFIA E-Clipping and Reviewing | Reuse News Indonesia | ARDA Reseller News | Rahasia Penulis Sukses | Reseller News Indonesia |

MENU ARDA EKLIPING INDONESIA:
| BERANDA KLIPING | KLIP IPTEK | KLIP PSIKOLOGI | KLIP WANITA | KLIP KELUARGA | KLIP ANAK CERDAS | KLIP BELIA & REMAJA | KLIP GURU & PENDIDIKAN | KLIP HIKMAH & RENUNGAN |

MENU HIDUP SEHAT DAN KAYA:
| Dunia Spritual dan Kesehatan | Rahasia Menjadi Kaya | Dunia Reseller | Reuse News | Pustaka Bisnis |

MENU ARDA PENULIS SUKSES:
| Inspirasi Penulis | Rahasia Penulis | Media Penulis | Sosok Penulis | Pustaka Penulis |

MENU AKADEMI PEMBERANTASAN PENYAKIT BERSUMBER BINATANG:
| Dunia P2B2 | Dunia NYAMUK | Dunia LALAT | Dunia TIKUS | Dunia KECOA | Pustaka P2B2 |

MENU AKADEMI KESEHATAN LINGKUNGAN:
| Inspirasi ARDA | Dasar KESLING | P.Sampah | Tinja & Aair Limbah | Binatang Pengganggu | Rumah & Pemukiman Sehat | Pencemaran Lingkungan Fisik | HYPERKES | Hygiene Sanitasi Makanan | Sanitasi Tempat Umum | Air Bersih | Pustaka Kesehatan |

MENU MIQRA INDONESIA:
| Home Inspirasi | Opini | Optimis | Sehat-Healthy | Keluarga-Family Life | Spirit-Enthusiasm | Ibroh-Wisdom | Jurnalistik | Lingkungan-Environment | Business | BooK | PROFIL | Jurnal MIQRAINDO | Reseller News Indonesia |

DAFTAR KORAN-MAJALAH INDONESIA:
| Pikiran Rakyat | KOMPAS | Galamedia | Republika | Koran Sindo | Bisnis Indonesia | Sinar Harapan | Suara Pembaruan | Suara Karya | Suara Merdeka | Solo Pos | Jawa Pos | The Jakarta Post | Koran Tempo | Media Indonesia | Banjarmasin Post | Waspada | Suara Indonesia Baru | Batam Pos | Serambi Indonesia | Sriwijaya Post | Kedaulatan Rakyat | Pontianak POS | Harian Fajar | Harian Bernas | Bangka Post | Harian Surya | Metro Banjar | Pos Kupang | Serambi Indonesia | Kontan | Majalah Gamma | Majalah Gatra | Majalah Angkasa | Majalah Intisari | Majalah Info Komputer | Majalah Bobo | Majalah Ummi | Majalah Sabili | Majalah Parentsguide | Majalah Suara Muhammadiyah | Majalah Amanah | Majalah Tabligh | Majalah Insight |Majalah Annida | Majalah Network Business | Tabloid PC+ | Majalah Komputer Easy | Tabloid NOVA |Loka Litbang P2B2 Ciamis |


MIQRA INDONESIA GROUP
Kantor Pusat
: Jl. Raya Panganadaran Km.3 Pangandaran Ciamis 46396
Telp. (0265) 630058
Copyright © 2006-2010, Miqra Indonesia,
Email : miqra_indo@yahoo.co.id
Homepage : http://www.miqra.blogspot.com/
Design by Arda Dinata,
Wong Tempel Kulon - Kec. Lelea - Kab. Indramayu - Indonesia

08 September 2008

Karena itu Aku Menulis

Salzburg, Maret 2003, Amelia Hapsari

Ini Salzburg, sebuah kota di lereng gunung Alpen yang mulai menghangat di awal musim semi. Hutan masih kerontang karena musim dingin mengendapkan kehidupan pada coklat pucat dan kelabu yang muram. Tapi rumput-rumput kecil yang lembut dan keras hati sudah mulai tumbuh, menemani bunga-bunga liar putih kecil bertotol kuning di tengahnya, atau si lila mungil yang mulai bercokol di sela-sela semak yang belum tumbuh daunnya.

Salzburg masih belum tersentuh warna musim panas yang hijau-biru segar seperti dirinya dalam film “Sound of Music.” Tapi aku di sini, mulai detik ini, akan memulai suatu titik baru dalam hidupku. Aku akan menulis lagi.

Sejak aku mulai bisa mengeja kata dan melambangkan bahasa dengan coretan-coretan berbentuk alfabet yang bisa dibaca, aku sudah mulai menulis. Aku mengarang cerita tentang seorang anak yang dipungut oleh orang tuanya dan kemudian menemukan jati dirinya yang sesungguhnya. Cerita itu kutulis di atas kertas kalender harian yang disobek karena sudah lewat tanggalnya. Kertas-kertas itu kusembunyikan supaya kedua orang tuaku tidak mengetahui isinya.

Tentu saja itu hal yang mustahil, karena rumah kami ketika itu tidak mengenal privasi. Mama, Papa, aku, dan ketiga adikku tinggal tidur di sebuah kamar yang sama, baju-baju kami disimpan di lemari yang sama, dan alat-alat sekolah kami juga berbagi rak yang sama dengan buku-buku lain. Aku hanya merasa malu, bahwa aku sempat membayangkan cerita anak pungut itu. Ini semua gara-gara film drama cengeng Indonesia tahun 80-an yang kutonton di TVRI. Cerita itu tidak pernah selesai, dan kertasnya mungkin sudah kuenyahkan.

Setelah itu aku masih selalu berusaha menulis dengan baik. Aku membuat buku kumpulan puisi bersama temanku Ninis pada kelas tiga SD. Kumpulan puisi itu sempat terbit sampai tiga edisi. Terbitannya cuma satu kopi, dari sobekan halaman tengah buku tulis yang kemudian dibendel dengan staples. Aku dan ninis memberi nilai satu sampai sepuluh karya-karya kami. Tentu saja karyaku sendiri kuberi nilai tinggi-tinggi. Curang sekali, ya? Tapi toh hanya Ninis yang protes, karena tidak pernah ada orang yang kami perbolehkan membacanya.

Setelah aku di kelas lebih tinggi, lebih banyak membaca puisi, karya-karya itu kupandang norak dan tidak bermutu, maka gampang terbuang begitu saja. Ingatanku tentang usahaku menulis setelah itu adalah ketika aku kelas lima SD, dan ingin menulis tentang seorang gadis kecil yang pandai tapi sombong. Belum jadi satu halaman, orang-orang di rumahku sudah mulai berseliweran sambil berusaha mengintip, apa yang sedang aku tulis. Jangan salah sangka, aku yakin mereka bangga bahwa aku gemar menulis. Tapi keingintahuan mereka membuatku malas menulis lagi.

Aku merasa bahwa suka menulis itu tidak normal, bahkan menulis itu bukan suatu cita-cita yang harus terus ditekuni. Mengapa? Ada tiga alasan yang pernah aku bayangkan.

Yang pertama, menulis itu menghasilkan terlalu sedikit uang. Dilahirkan di keluarga wiraswastawan, aku selalu dididik untuk menghargai uang. Kami selalu hidup hemat, dan berusaha mengumpulkan uang.

Kalau waktu dan tenaga yang dikeluarkan untuk menghasilkan sebuah tulisan yang baik digunakan untuk bekerja dalam bidang teknik, perdagangan, atau bidang lain yang lebih menguntungkan secara ekonomi, maka pekerjaan menulis boleh dikategorikan sebagai penggunaan waktu yang tidak terlalu produktif. Semua tulisan yang baik melalui proses riset dan pemikiran yang mendalam, digarap dengan teknik yang memakan waktu untuk berlatih dan berani salah, serta melibatkan proses pencarian gaya tulisan yang bertahun-tahun. Untuk sebuah ketrampilan yang ditempa sedemikian lama, penulis rata-rata mendapat penghasilan yang tidak seimbang. Apalagi kalau ia hanya menulis untuk dirinya sendiri. Apalagi kalau ia harus menghidupi keluarganya.

Yang kedua, penulis itu terlihat memenuhi syarat untuk digolongkan jadi pemalas. Aku bisa membayangkan mempunyai suami seorang penulis yang bangun seenaknya, dengan pakaian seenaknya juga mulai menulis, makan dan tidur seenaknya, dan pergi seenaknya. Pasti dibutuhkan hati seluas samudra untuk menjadi istri seorang penulis. Sedangkan menjadi suami seorang penulis, aku belum bisa membayangkannya, karena tuntutan sebagai istri dan ibu di Indonesia hampir tidak bisa ditawar lagi. Keadaan ini, ditambah dengan harga tulisan yang tidak menentu, tidak adil bagi pasangan para penulis, apalagi anak-anak mereka.

Yang ketiga, penulis itu seringkali mau enaknya saja. Kritik sana kritik sini, tapi jarang benar-benar ikut serta untuk memperbaiki masalah, alias omdo (omong doang). Karena pengetahuan mereka di ranah teori dan banyaknya bacaan mereka yang memperluas wawasan, para penulis mudah menuding, apalagi menulis analisa yang membuat luka-luka pada pihak yang merasa tertuding. Karena itu penulis biasanya lekas dianggap idealis dan tidak realistis, sehingga cap omdo pada penulis ini mudah dilekatkan masyarakat sekitarnya.

Paling tidak, inilah gambaran orang tuaku tentang penulis. Gambaran yang sangat manusiawi dan wajar dimiliki siapapun. Karena ini, dan lebih karena tema-tema pelajaran mengarang dari SD sampai SMA tidak pernah jauh dari tema kebersihan lingkungan dan tema-tema apolitis yang membosankan lainnya, maka bertahun-tahun sejak lulus SD aku tidak menulis lagi. Kalau aku menulis, aku menulis di malam larut yang sepi, ketika aku sendiri, kemudian menyimpannya rapat-rapat dari dunia luar asing yang tidak memahamiku.

Tapi mulai hari ini aku akan mulai menulis lagi.

Aku menulis, karena seringkali aku tidak cukup luas untuk menampung muatan gundah atau marah yang menyerbuku. Sering kali juga rasa syukur itu meluap banjir dan butuh mengalir. Dan kalau aku sedih, aku butuh suatu ruang kosong untuk menuang air mataku dan meletakkan bebanku. Aku menulis karena ada yang minta dilahirkan melalui pena dan buku tulisku.

Aku menulis, karena identitasku sebagai minoritas di manapun aku berada. Kalau Anda belum pernah menjadi minoritas, beginilah rasanya. Sebagai seorang wanita, aku diharapkan untuk mencapai “kodratku,” sebagai ibu dan istri yang baik. Karena itu setiap kali aku berhadapan dengan laki-laki dalam konteks kerja, aku selalu ditatap dengan sorot mata yang berkata, “Nggak usah lah berkompetisi dengan kami, para laki-laki. Dua atau tiga tahun lagi kamu akan punya anak dan nggak akan punya waktu lagi buat bersaing dengan kami.”

Sebagai seorang beretnis Cina di Indonesia, aku masih selalu merasa dicurigai, bahwa aku akan mewakili ide-ide prototip Cina yang menghalalkan segala cara hanya demi uang, atau hanya berorientasi pada perolehan laba sebesar-besarnya. Kalau aku ke Amerika, ke Eropa, atau ke negara lain yang katanya menjunjung sikap anti diskriminasi, segera aksen Jawa pada bahasa Inggris atau Jermanku membuat orang berpikir panjang untuk menilai bahwa aku sama kompetennya dengan mereka.

Aku juga hanya sedikit minum alkohol dan tidak merokok, yang segera membuatku dianggap kurang gaul atau terlalu konservatif di negara-negara Barat. Bahkan kalaupun aku ke Cina, tempat di mana aku secara fisik tidak akan kelihatan jauh berbeda dengan penduduk mayoritasnya, mereka akan bilang bahwa aku orang Indonesia, dari budaya yang tidak sama dengan mereka.

Dengan menulis, aku menyampaikan diriku yang aku yakini, tanpa harus masuk ke dalam benteng-benteng sempit itu. Aku bisa bebas bersuara, tanpa perlu menampakkan wajahku, yang kadang membuat benteng-benteng tadi, atau tanpa memperlihatkan logat Jawaku, yang sering dianggap kampungan. Ketika orang membaca tulisanku, mereka akan membacanya pada sebuah sudut tenang sehingga aku dalam tulisanku bisa berbicara secara personal kepada mereka, tanpa dihalangi benteng-benteng aneh tadi. Dengan menulis, identitasku yang majemuk itu tidak lagi menjadi sandungan-sandungan, tetapi justru memperkaya nuansanya.

Dengan menulis, aku mendapat kesempatan untuk menyusun semua yang ingin kusampaikan beserta segala bentuk emosinya secara teratur, sehingga aku memperkenalkan perspektifku dengan lebih efektif dan berani. Dalam komunikasi langsung, kadang naluri Jawaku untuk menghindari konflik masih mendominasi keinginanku untuk terus terang dan terbuka dalam berbedaan pendapat.

Tulisan adalah senjataku, karena pada saat-saat tertentu aku merasa sebagai manusia yang sangat tidak berdaya. Ketika perang dinyatakan, ketika hak hidup manusia diinjak-injak, ketika yang berkuasa merampas, ketika alam tidak diindahkan, ketika melihat kebencian yang dilegitimasi oleh agama atau etnisitas, aku merasa lemah. Aku merasa kesepian dan sendirian dalam keinginan untuk menghentikan semua itu. Karena itu aku duduk sendiri dan menulis. Aku menulis sisa-sisa harapan di padang kegelisahanku.

Aku meyakini tulisanku sebagai sebutir biji atau spora lumut yang paling bandel yang akan tinggal di pikiran siapapun yang membacanya. Dengan paduan keadaan dan suatu kesempatan yang tepat, aku yakin bahwa suatu hari spora lumutku akan tumbuh di suatu tempat, menjadi perintis sebuah taman baru yang berbuah banyak.

Karena itulah rezim otoriter yang keji membenci para penulis. Mereka menghukum bahkan membunuh banyak penulis hebat hanya karena tulisannya. Karena tulisan adalah bom waktu yang bisa meledak ketika sejarah menghendakinya. Dan karena itulah aku menulis.

MyBlog ARDA DINATA:
Dunia Kesehatan Lingkungan: http://arda-dinata.blogspot.com
Dunia Inspirasi & Motivasi Hidup: http://miqra.blogspot.com
Dunia Penulis Sukses: http://ardapenulis.blogspot.com

0 comments: